Kamis, 01 April 2010

Dari Pendidikan Menuju Kebangkitan

Agar tak salah arah, kebangkitan Islam harus
Berada di atas basis pendidikan, seperti
Dicontohkan Rasulullah SAW. Dan para Sahabat.
Sejauh mana peran serta kita..?

Kaisar Charlemagne V, sang penguasa Imperium Byzan¬ium, terhenyak, takjub me¬nyaksikan hadiah yang dibawa utusan Harun Al-Rasyid, Khalifah kelima dari Daulah Abbasiyah. Hadiah yang dipersembahkan adalah sebuah jam yang mempunyai jarum yang ber¬putar dan berdetak. Para penasehat kaisar sontak berkesimpulan bahwa hadiah tersebut adalah permainan sihir. Tapi setelah utusan Khalifah men¬jelaskan tentang sistem kerja jam tersebut, barulah sang kaisar termanggut-manggut mengerti. Kisah ini direkam oleh sejarah, sebagai bukti kecil betapa Barat masih sangat terbelakang di Abad Pertengahan. Mereka hidup dalam belenggu khurafat dan takhyul, talk mampu berpikir logis dalam menata peradaban mereka sendiri. Di saat yang sama, Islam dengan prinsip keadilan dan per¬samaannya, tengah memandu kereta peradaban manusia menuju penca-paian kemakmuran dan kesejahteraan yang tinggi untuk dua dimensi kehidupan. Dunia dan akhirat.
Yang terjadi kemudian adalah sebaliknya. Saat pengaruh institusi khilafah kian melemah dan umat Islam terpecah dalam kesultanan-kesultan¬an kecil, Barat bangkit menata diri. Revolusi Perancis dan Inggris adalah momen kembar bagi Barat dalam mendorong isu revival of learning (kebangkitan belajar). Sayangnya, pencapaian pengetahuan hanya dijadikan Barat sebagai alat meraih kekayaan dan kekuasaan melalui kolonialisme dan menafikan nilai-nilai luhur nurani serta kemanusiaan. Se¬jalan dengan falsafah mereka yang menyebutkan bahwa pengetahuan adalah sarana menggapai kekuasaan. Berbeda dengan Islam yang meman¬dang pengetahuan sebagai proses untuk mensejahterakan manusia, memakmurkan bumf sekaligus alat untuk meraih kemuliaan di sisi Allah (QS al-Baqarah: 29).
Penjajahan semakin gencar dilakukan Barat dengan segala kekuatan yang mereka miliki. Studi¬ studi tentang Timur (orientalisme) digalakkan dengan anggaran dana yang besar. Dalam pencarian jatidiri ini, Barat berutang banyak pada Timur. "Timur telah membantu mendefinisikan Eropa (atau Barat) sebagai imaji idea, kepribadian dan pengalaman yang berlawanan dengannya," tulis Edward W Said, dalam bukunya "Orientalisme." Barat tak hanya menjajah Timur, tapi juga Islam secara khusus. Contoh yang paling dekat adalah, peran Snouck Hurgronje, orientalis Belanda yang pura-pura masuk Islam, dalam proses kejatuhan Aceh ke tangan Belanda.
Tidak berhenti sampai di situ saja, Barat melakukan pengeroposan umat dari dalam dengan melakukan proses pembusukan generasi. Lihat saja kondisi pendidikan di Dunia Islam yang carut marut oleh kebijakan-kebijakan politik yang merugikan umat. Di Indonesia misalnya, hak umat Islam untuk memperoleh pendidikan yang layak dan memadai dibatasi. Terjadi politisasi pendidikan di lapangan kurikulum dan mated pengajaran.
Hilangnya sentuhan nilai Islam sebagai agama mayoritas bangsa Indonesia dalam pendidikan berperan penting atas proses lahirnya generasi yang tidak mempunyai pandangan (tashawwur) dan wawasan (tsaqafah) yang benar tentang Islam. Ditambah lagi dengan pengiriman siswa-siswa brilian untuk belajar ke Barat kian membercepat perkembangan Sekularisme di kemudian hari. Hanya sedikit di antara mereka yang memper¬tahankan jati diri keislamannya.
Kuatnya cengkraman Sekularisme penjajah kian terasa menyesakkan justru ketika bangsa ini menyatakan dirinya merdeka. Pertentangan kaum Islamiyyuun (aktifis Islam) dengan para. Ilmaniyyuun (penyokong Sekularisme) begitu keras terjadi. Upaya marginalisasi peran umat Islam di kancah social, politik, dan budaya gencar dilakukan. Kebijakan politik yang tak bersahabat kerap menimpa umat. Dalam hal ini, tak ada perbedaan signifikan antara Orde Lama dan Orde Baru.
Beragam reaksi muncul dari berbagai elemen umat. Banyak cara telah ditempuh. Dari politik melalui Masyumi, hingga jalur militer lewat DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Jalur dakwah dan pendidikan pun dikembangkan melalui berbagai ormas Islam, seminal NU, Muhammadiyah, Persis dan Al-Irsyad dengan sekolah-sekolah¬nya yang tersebar di berbagai penjuru Indone¬sia. Apakah semua usaha yang telah diretas di atas telah gagal, atau sedikitnya tak membuahkan hasil?
Tentu saja terlalu menyederhanakan jika kita menyebut semua usaha yang dilakukan mene¬mui kegagalan atau belum maksimal. Tapi ada yang lebih penting daripada sekadar menilai proses telah gagal atau tidak. Dan itu adalah adalah melakukan evaluasi total dan menyelu¬ruh, mengambil segi-segi positif dan tidak me-ngulangi kekeliruan yang pernah dilakukan. Selanjutnya, generasi kini melanjutkan estafet per¬juangan yang telah dirintis oleh generasi terdahulu.
Di awal alam baru ini, geliat umat Islam untuk bangkit tak terbendungkan. Variabel-variabelnya begitu nyata. Mulai dari semangat menggali nilai¬nilai Islam, langsung dari sumbernya: al-Wan dan as-Sunnah, berikut upaya pengamalannya secara kaffah. Fenomena maraknya jilbab dan Bank Syariah adalah bukti sederhana yang dapat disebutkan. Tidak itu saja, desakan untuk mene¬rapkan hukum Islam sebagai hukum positif sekaligus dasar negara, gencar terdengar. Sebagian negara Islam seperti Saudi Arabia, Ku¬wait dan bahkan negara bagian Kelantan, Malay¬sia, telah lebih dulu menerapkan syariah Islam sebagai dasar negara dan hukum positif yang berlaku bagi masyarakatnya.
Di Indonesia, diberlakukannya syariah Islam di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sangat meng¬gembirakan umat. Tapi yang harus diingat, upaya penerapan yang masih "bagi" ini harus dirawat de¬ngan kecerdasan strategic dan upaya maksimal. Tidak sebatas isu dan demonstrasi, namun lang¬kah nyata membina generasi yang gigih memper¬juangkan Islam. Jika tidak, seperti diungkapkan oleh Dr. Salim Segaf al-Djufri, Ketua Pusat Konsultasi Syariah, syariat Islam yang tidak terkelola dengan balk dan benar akan menjadi preseden buruk bagi penerapan syariah di propinsi lain.
Tapi, yang sangat menyedihkan, berbarengan dengan fenomena positif di atas terjadi pula degradasi moral yang kian parch. Kebodohan dan keterbelakangan masih kuat melekat dalam tubuh umat. Tidak saja terhadap "ilmu-ilmu dunia", tapi juga pada hakikat Islam. Belum lagi ditambah upaya keji musuh-musuh Islam dengan aliran-aliran sesat yang berusaha merusak akidah umat. Alhasil, Alih-alih memahami dan merenungkan ayat suci al-Qur'an, banyak umat Islam yang tak mampu membacanya, apalagi secara tartil. Bahasa Arab, sebagai bahasa resmi dunia Islam, teralienasi dan hanya menjadi bahasa kelas tiga setelah bahasa setempat dan bahasa Inggris. Pemahaman umat terhadap hukum-hukum Islam juga sangat dangkal. Sehingga tak heran, jika banyak kemungkaran terjadi akibat ketidaktahuan umat tentang aturan¬aturan Islam.
Ini belum lagi ditambah minimnya pendidikan agama di sekolah umum. Sekolah agama, semisal pesantren, hanya menjadi lembaga pendidikan kelas dua dari segi jumlah peminatnya. Dan parahnya lagi, sebagian umat memandang sekolah¬sekolah agama sebagai 'bengkel' untuk mem¬perbaiki anak-anak nakal yang talk mampu lagi di¬urus orangtuanya. Wajar saja jika lembaga-lem¬baga tersebut sangat sulit melahirkan bibit-bibit unggul yang bermanfaat di tengah masyarakat. Catatan masih akan panjang dengan tambahan ruh materialisme yang telah mengakar ke dalam benak umat Islam. Bahwa, sekolah agama mem¬punyai masa depan suram dari segi ekonomi. Di samping itu, rumah yang mestinya menjadi 'seko¬lah pertama dan utama' bagi anak, tidak berfungsi bahkan sekadar untuk menjadi hunian yang tenang dan damai bagi anak-anak.
Kebangkitan umat Islam yang sejati, haruslah seperti yang dicontohkan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Berdiri di atas basis pendidikan (tarbiyah) yang mempunyai orisinalitas (ashalah), sumber yang jelas, yaitu: al-Qur'an dan as-Sunnah, dan basis yang kokoh. Agar kebangkitan tidak kebablasan dan keluar batas tanpa tujuan yang jelas. Yang diperlukan bukan semangat semata. tapi juga, seperti diungkapkan Anwar Ibrahim dalam Asian Rennaisance-nya, adalah mengembalikan tradisi belajar (tradition of learning) yang pernah dimiliki umat. Bukankah, basis dakwah Rasulullah saw yang pertama dibangun di atas perintah "membaca," (QS al-Alaq:1)?
Kecintaan membaca, menelaah, berdiskusi, berpikir, menulis, dan beramal kreatif, adalah se¬mangat yang harus disuntikkan kembali ke dalam jiwa dan pikiran umat Islam. Sehingga, para muta¬fannin (ulama multi disipliner), mengutip pendapat Ibnu Khaldun dalam magnum opus-nya Muqaddi¬mah, dapat dilahirkan kembali dari rahim umat Is¬lam. Sosok-sosok yang mampu menerangkan aqi¬dah dan hukum-hukum Islam secara brilian, sefa¬sih ketika menerangkan disiplin ilmu ekonomi atau kedokteran. Ya, seperti sosok Ibnu Rusyd, Al-Kha-warizmy, Al-Biruni, dan banyak lagi.
Kita tidak sedang bermimpi, kalau kita mau berbuat. Bukan sebuah utopia jika kita berani memulai langkah pertama. "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sandhi," (OS ar-Ra'd: 11). M
M. Nurkholis Ridwan
Sabili No. 22 TH.IX 2 Mei 2002/19 Shafar 1423